Sorotan tajam kini menghujani program Makan Bergizi Gratis (MBG), salah satu prioritas utama Kabinet Merah Putih. Sejumlah kasus keracunan massal yang melibatkan ratusan korban telah menyebar di berbagai daerah. Bahkan, di Kabupaten Bandung Barat, situasi ini telah dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB), semakin memicu kritik terhadap program tersebut.
Polemik seputar kualitas menu yang dinilai kurang layak semakin memperburuk citra program MBG. Pertanyaan krusial pun muncul: Siapa yang harus bertanggung jawab atas rentetan insiden keracunan ini?
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menegaskan bahwa pemerintah daerah (pemda) memegang peranan sentral dalam penanganan kasus keracunan MBG. Pemda menjadi garda terdepan dalam merespons setiap insiden yang terjadi.
“Yang merawat mereka pasti, kalau terjadi insiden yang pertama kali adalah dari otoritas daerah setempat seperti pemda,” ujar Tito pada Kamis (25/9/2025).
Tito menjelaskan bahwa pemda memiliki sumber daya yang memadai untuk menangani keadaan darurat, mulai dari fasilitas rumah sakit, tenaga medis, hingga sistem layanan darurat.
“Pemda punya rumah sakit, punya ambulans, kemudian punya tenaga kesehatan, sistem emergency. Jadi, respons awal harus dilakukan otoritas daerah,” tambahnya.
Selain itu, Badan Gizi Nasional (BGN) juga telah menyiapkan satuan tugas (satgas) di berbagai daerah untuk membantu pemda dalam penanganan kasus keracunan MBG.
“Prinsip utamanya, daerah itu hanya ingin membantu, tapi pengambil keputusannya tetap dari BGN,” jelas Tito.
Tito menambahkan bahwa BGN akan bekerja sama dengan pemda, terutama di daerah-daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
“Ada 62 daerah-daerah 3T yang BGN akan bekerja sama pemda, kami fasilitasi. Untuk daerah-daerah lain, yang di luar daerah-daerah terpencil, sebetulnya juga sudah dibuat satgas-satgas yang tugasnya membantu BGN,” jelasnya.
Wakil Kepala BGN, Nanik S. Deyang, mengungkapkan bahwa sebagian besar kasus keracunan yang terjadi disebabkan oleh kelalaian dalam penerapan standar operasional prosedur (SOP).
“Kejadian belakangan ini, 80 persen karena SOP kita yang tidak dipatuhi baik oleh mitra maupun tim kami sendiri dari dalam, yaitu SPPG, di mana ada kepala SPPG, ahli gizi, dan akuntan,” ungkap Nanik dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (26/9/2025).
Nanik menegaskan bahwa BGN tetap memikul tanggung jawab terbesar atas insiden keracunan tersebut.
“Tetapi kesalahan tidak bisa menimpakan kepada mereka, kesalahan terbesar ada pada kami, berarti kami masih jurang pengawasannya. Jadi, ya sudah lah pokoknya kami mengaku salah atas apa yang terjadi soal insiden keamanan pangan ini,” tambahnya.
BGN juga berkomitmen untuk menanggung biaya perawatan korban keracunan.
“Dari hati saya terdalam, saya mohon maaf atas nama BGN, atas nama seluruh SPPG di Indonesia, saya mohon maaf,” kata Nanik.
Nanik juga menyampaikan komitmen BGN untuk mewujudkan visi pemerintah dalam meningkatkan gizi anak-anak Indonesia.
“Niat kami, nawaitu kami, nawaitu Presiden adalah ingin membantu anak-anak terpenuhi gizinya agar menjadi generasi emas,” lanjutnya.
Nanik juga menyinggung adanya kemungkinan tumpang tindih antara kasus keracunan dan reaksi alergi pada siswa penerima manfaat MBG.
“Saya tegaskan kalau ada makanan yang terbukti diidentifikasi membuat keracunan, kita nggak pakai di wilayah itu sekalipun akhirnya banyak,” tegasnya dalam pernyataan di Bogor, Kamis (25/9/2025).
Nanik menjelaskan bahwa tidak semua kasus yang diduga keracunan adalah murni keracunan. Beberapa kasus kemungkinan disebabkan oleh reaksi alergi terhadap makanan tertentu.
“Alergi dan keracunan ini tumpang tindih. Tidak semua hal itu dugaan keracunan, tapi ada hal karena alergi, misalnya udang bahkan alergi mayonaise,” jelas Nanik.
BGN sebenarnya telah melakukan pendataan alergi siswa, namun ada kemungkinan beberapa sekolah terlewatkan.
“Ada catatannya, tapi ternyata mungkin ada sekolah-sekolah yang terlewat,” pungkasnya.