Gen Z Waspada! Jebakan FOMO, Utang, dan Gaya Hidup Konsumtif Mengancam Masa Depan

Gen Z Waspada Jebakan FOMO Utang dan Gaya Hidup Konsumtif Mengancam Masa Depan

Generasi Z Indonesia menghadapi tantangan serius dalam mengelola keuangan di era digital. Kemudahan akses produk finansial modern, dari reksadana hingga pinjaman online, membawa risiko tersendiri bagi anak muda yang mudah tergoda investasi tanpa pemahaman mendalam. Menteri Keuangan RI, Purbaya Yudhi Sadewa, pun turut menyoroti hal ini, mengingatkan akan dampak buruk kebiasaan finansial yang salah, khususnya jebakan utang konsumtif.

Purbaya memberikan empat pesan utama bagi Gen Z untuk mengelola keuangan secara bijak. Pesan-pesan ini menekankan pentingnya literasi keuangan dan menghindari jebakan tren serta budaya konsumtif yang marak di media sosial. Berikut uraian lengkapnya:

**1. Waspada “Fear Of Missing Out” (FOMO)**

Gen Z sering terpapar informasi keuangan di media sosial, termasuk FYP. Konten dari influencer dan unggahan viral dapat memicu keinginan untuk ikut berinvestasi tanpa pemahaman yang cukup. Purbaya mengingatkan pentingnya mempelajari instrumen investasi sebelum terjun langsung.

“Jadi kalau mau berinvestasi di instrumen apa pun, pelajari dahulu instrumennya seperti apa,” ujar Purbaya di Jakarta, Selasa (16/9/2025). “Jangan ikut-ikutan orang, jangan FOMO, *fear of missing out*. Pelajari instrumennya apa, mereka pasti berhasil,” tambahnya.

**2. Belanja Sesuai Anggaran**

Budaya berutang yang dipengaruhi konten finansial instan di media sosial menjadi perhatian serius. Utang konsumtif untuk gaya hidup dapat menjerat karena bunga dan biaya tambahan yang tinggi. Penting untuk membiasakan diri belanja sesuai kemampuan finansial.

“Tidak apa-apa belanja, mau yang mahal atau yang murah, tapi sesuaikan dengan kantong sendiri. Jangan ngutang,” tegas Purbaya. Ia juga menekankan pentingnya literasi keuangan untuk pengambilan keputusan yang bijak.

**3. Hindari Godaan Diskon**

Dalam wawancara sebelumnya, Purbaya memperingatkan bahaya utang konsumtif yang dapat berdampak pada krisis ekonomi nasional, mencontohkan krisis keuangan 2008 di Amerika Serikat.

“Kalau kebanyakan utang dari orang-orang di kita (warga Indonesia) tidak bisa bayar, itu bisa menimbulkan krisis,” tuturnya.

Promosi fintech dengan iming-iming diskon dan visual menarik seringkali membuat generasi muda terlena. Penting untuk menyadari bahwa meskipun pinjaman awal tampak kecil, ketidakmampuan membayar dapat berdampak besar, bahkan berdampak sistemik pada perekonomian negara.

“Mungkin pada awalnya meminjam seperti di pay later itu tidak terasa, tapi suatu saat tidak bayar. Kalau banyak (warga) ramai-ramai tidak bayar bagaimana? sistem ekonomi (negara) akan terguncang,” jelasnya.

**4. Hindari Gaya Hidup Konsumtif Berlebihan**

Gaya hidup pamer dengan berutang akan menjerumuskan ke dalam masalah finansial. Purbaya menyarankan untuk menghindari utang kecuali benar-benar dibutuhkan.

“Kalau tidak perlu banget, sebaiknya tidak usah untuk flexing (pamer harta), karena Anda seperti ngutang, sama saja dipaksa berhutang dan akhirnya terlena,” katanya.

Ia menganut prinsip sederhana dalam mengatur keuangan: “Jadi kalau saya patokannya adalah, kalau tidak punya duit, tidak usah bayar,” ujarnya. Purbaya kembali menekankan pepatah “Jangan lebih besar pasak daripada tiang”, mengingatkan pentingnya perencanaan keuangan yang matang, khususnya memiliki dana darurat sebelum mengambil utang.

“Terlebih kalau kita tidak punya dana darurat ke depan, tidak usah ngutang dulu. Kecuali Anda yakin, pendapatan dalam sebulan, baru bisa cicil. Jadi semuanya perlu dihitung, jangan lebih besar pasak daripada tiang,” pungkasnya.

Dapatkan Berita Terupdate dari CNews.id di: