Kota Betun, Malaka, berdesak-desakan dipadati warga dalam euforia kemerdekaan. Perayaan HUT ke-78 RI tahun ini terasa berbeda; suasana pesta rakyat membanjiri jalanan utama. Tenda-tenda UMKM memenuhi setiap sudut, aroma jagung rebus, sate ayam, dan kopi panas menguar di udara sore yang semarak. Lomba-lomba seperti bola voli, sepak bola, dan gerak jalan menghibur warga. Musik meriah dari panggung hiburan “Malaka Idol” menambah semarak suasana.
Kehidupan di Malaka di bawah kepemimpinan Stefanus Bria Seran (SBS) dan Henri Melki Simu (HMS) tampak bergairah dan dinamis. Perputaran uang terasa nyata, terutama bagi para pedagang kecil yang merasakan peningkatan pendapatan signifikan. Bagi mereka, perayaan kemerdekaan ini bukan sekadar perayaan nasional, tetapi juga pesta rezeki. Seorang pedagang minuman mengungkapkan rasa syukurnya, “Kalau setiap bulan begini, kami bisa tambah modal.” Senyum lebarnya merefleksikan peningkatan pendapatan yang signifikan.
Keberhasilan SBS-HMS menciptakan dampak ekonomi positif ini bermula dari langkah sederhana namun efektif: menyelenggarakan beragam kegiatan yang mampu menarik massa. Akibatnya, uang berputar di tangan masyarakat. Mulai dari tukang parkir, pedagang kaki lima, hingga penjual bakso keliling, semua merasakan manfaatnya. Tak ada alasan “anggaran terbatas” yang menghalangi upaya mereka untuk memajukan perekonomian rakyat.
Bupati SBS menegaskan komitmennya dengan mengatakan, “Jangan urus daerah ini dengan penuh pengeluhan. Uang ada, namun harus pintar mengaturnya agar masyarakat dapat manfaatnya. Jangan urus daerah ini dengan kemelaratan.” Pernyataan tegas ini menjadi sindiran halus bagi pemimpin yang lebih senang mencari alasan daripada solusi.
Kontras dengan pemerintahan sebelumnya di bawah Simon Nahak, suasana perayaan kemerdekaan jauh berbeda. Selama empat tahun kepemimpinannya, perayaan 17 Agustus terasa biasa saja. Tidak ada lomba besar, acara rakyat, maupun kegiatan yang mampu menghidupkan perekonomian. Kota Betun tampak lesu dan sepi. UMKM berjalan sendiri tanpa dukungan event yang mampu menarik minat pembeli. Alasan klasik “anggaran terbatas” selalu menjadi jawaban.
Namun, terbatasnya anggaran bukanlah hambatan bagi kreativitas pemimpin. Pemimpin yang visioner akan selalu berupaya menemukan solusi, bukan mencari pembenaran. Di sinilah perbedaan SBS dan Simon Nahak terlihat jelas: SBS menghidupkan ekonomi rakyat, sedangkan Simon seakan mengubur peluang dengan keluhan.
Semarak perayaan kemerdekaan di Malaka kini terasa di seluruh pelosok. Lomba gerak jalan melibatkan sekolah dan komunitas. Pertandingan bola voli dan sepak bola menarik perhatian warga dari berbagai desa. Anak muda berbakat unjuk kemampuan di “Malaka Idol”. Para pedagang pun merasakan peningkatan pendapatan yang signifikan.
Salah satu penjual jagung bakar di pusat kota turut bersaksi, “Biasanya jualan sampai malam rugi tenaga, tapi kali ini malah untung besar. Terima kasih Bupati SBS.” Pernyataan ini menunjukkan dampak positif yang nyata dari program pemerintah.
Kepemimpinan Simon Nahak meninggalkan warisan yang sulit dilupakan: kekurangan gebrakan berarti untuk memajukan perekonomian rakyat. Masyarakat seolah dibiarkan berjalan sendiri tanpa program yang melibatkan mereka secara langsung. SBS-HMS mewarisi kondisi tersebut, tetapi memilih jalan berbeda. Mereka bekerja langsung bersama rakyat, memimpin dengan tindakan nyata, dan memastikan setiap rupiah anggaran publik memberikan manfaat.
Kini, warga Malaka tidak hanya merayakan kemerdekaan, tetapi juga kebangkitan ekonomi lokal. SBS-HMS memimpin dengan karya, sementara Simon Nahak memimpin dengan keluhan. Masyarakat Malaka yang masih mengingat tahun-tahun sunyi tanpa kegiatan pasti memahami perbedaan kepemimpinan kedua tokoh ini.