Peningkatan kualitas artikel.
Kemacetan lalu lintas di kawasan Lingkar Padalarang dan Pertigaan Cimareme, Kabupaten Bandung Barat (KBB), semakin menjadi perhatian serius. Persoalan ini tidak hanya disebabkan oleh masalah teknis, tetapi juga perilaku pengguna jalan dan perencanaan tata ruang yang dinilai kurang berpihak pada kepentingan publik.
Warga dan aktivis lingkungan menyuarakan keprihatinan mereka terhadap kondisi ini. Beberapa titik krusial yang menjadi biang kemacetan antara lain Pertigaan Tagog, G.A. Manulang, Pasirhalang, serta ruas Jalan Cihaliwung, Gedong Lima, dan Panaris. Di Cimareme, aktivitas kendaraan berat dari kawasan industri juga turut memperparah situasi.
Rencana Pemerintah dan Kritik yang Muncul
Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Gubernur Dedi Mulyadi berencana membangun flyover di kawasan Cimareme sebagai solusi jangka panjang.
Dedi Mulyadi menyampaikan dalam rapat paripurna di DPRD KBB pada Kamis (19/6/2025):
“Cimareme dan Padalarang itu simpul kemacetan. Nanti saya bangunkan jembatan layang.”
Namun, rencana ini mendapat kritik dari berbagai pihak. David Riksa Buana, Ketua LSM Trapawana Jawa Barat, menilai pembangunan infrastruktur besar berisiko mengabaikan aspek sosial dan ekologis.
Kritik Terhadap Pendekatan Pembangunan
David Riksa Buana menekankan pentingnya pendekatan yang lebih komprehensif.
“Flyover itu solusi instan yang seringkali hanya menguntungkan pengembang. Padahal, yang dibutuhkan warga adalah pelebaran jalan eksisting dan penataan ruang yang adil,” tegas David.
Selain itu, ia juga menyoroti rencana jalan lingkar Kota Baru yang akan menembus kawasan Cipatat. Menurutnya, jalur tersebut sebaiknya dialihkan ke arah Cikuda-Rajamandala untuk menghindari kawasan lindung Karst Citatah yang memiliki nilai ekologis tinggi.
Usulan dan Solusi dari Warga
Warga setempat mengusulkan beberapa solusi konkret untuk mengatasi kemacetan.
David Riksa Buana menambahkan bahwa pembangunan flyover saja tidak cukup.
“Kalau hanya mengandalkan flyover, kita akan kehilangan kesempatan membangun kota yang ramah bagi semua. Padahal, Lingkar Padalarang punya potensi besar untuk menjadi ruang publik dan ruang terbuka hijau,” jelas David.
Pentingnya Ruang Publik dan Tata Ruang Berkelanjutan
Selain persoalan kemacetan, minimnya ruang publik di KBB juga menjadi sorotan. David Riksa Buana mengkritik pemanfaatan aset seperti PN Kertas dan Stasiun Padalarang yang dinilai belum optimal sebagai pusat ruang publik.
Ia mengemukakan:
“Kenapa tidak dimohon ke Kementerian BUMN dan Keuangan agar aset bersejarah itu bisa dimanfaatkan untuk rakyat?”
David juga menyoroti penempatan Alun-Alun KBB yang dianggap belum mencerminkan filosofi ruang publik yang sesungguhnya.
“Alun-alun itu bukan sekadar taman. Ia harus menjadi pusat interaksi sosial dan budaya. Sayangnya, yang sekarang terlalu sempit dan tidak kontekstual,” katanya.
Ia mendorong Pemkab KBB untuk mengadopsi pendekatan Community Based Development dalam setiap rencana pembangunan.
“Kita butuh kota yang ramah terhadap alam dan seluruh penghuninya, bukan hanya manusia, tapi juga ekosistem yang menopang kehidupan,” tutup David.
Pembangunan infrastruktur harus selaras dengan kebutuhan warga dan keberlanjutan lingkungan. Pemerintah daerah diharapkan membuka ruang dialog yang lebih luas dengan komunitas, aktivis, dan warga terdampak sebelum mengambil keputusan strategis.