Transisi Energi PLN: Mimpi Elektrifikasi Indonesia Terancam Gagal?

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mendeklarasikan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 sebagai yang “paling hijau” dalam sejarah perusahaan. Klaim tersebut didasari pada rencana pembangunan kapasitas baru sebesar 69,5 GW, di mana 76 persennya berasal dari energi terbarukan. Namun, rencana ambisius ini menyimpan sejumlah pertanyaan krusial.

Implementasi rencana tersebut, yang meliputi energi surya, air, panas bumi, dan penyimpanan energi, terlihat terkonsentrasi pada periode 2030-2034. Hanya sekitar 27,9 GW kapasitas tambahan yang direncanakan untuk periode 2025-2029, sedangkan sisanya, 41,6 GW, akan dibangun dalam lima tahun berikutnya. Hal ini memicu kritik dari berbagai pihak.

Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menilai RUPTL masih terlalu bergantung pada energi fosil. Proyeksi menunjukkan peningkatan lebih dari 40 persen listrik dari batu bara dan gas hingga 2034 dibandingkan tahun 2024, bahkan ditambah dengan 16,6 GW pembangkit fosil baru. “Ketergantungan pada fosil tetap berlanjut,” tulis laporan CREA.

Pemerintah telah meluncurkan Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$ 20 miliar (sekitar Rp 320 triliun) dengan target puncak emisi sektor listrik pada 2030 dan porsi energi terbarukan mencapai 44 persen di tahun yang sama. Namun, implementasi JETP menghadapi kendala, terutama pada porsi hibah yang terlalu kecil, pinjaman yang kurang menarik, dan negosiasi pensiun dini PLTU yang belum tuntas.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menyoroti ketidakjelasan dana JETP. “Kalau dana JETP saja belum jelas, bagaimana kita bisa yakin lonjakan energi bersih terjadi tepat waktu?” ujarnya. Ia menekankan pentingnya percepatan lelang proyek energi terbarukan dan pembenahan regulasi pasar listrik untuk mencapai target 2030.

PLN berargumen bahwa transisi energi tidak bisa instan dan gas berperan sebagai “jembatan” untuk menjamin keandalan pasokan. Meskipun 76 persen kapasitas baru berasal dari energi terbarukan, PLN tetap akan menyelesaikan proyek fosil yang sudah berjalan. Namun, penumpukan proyek di akhir dekade (back loaded) menyimpan risiko.

Ancaman tersebut meliputi hambatan perizinan, masalah pendanaan, dan potensi masalah rantai pasok jika banyak proyek dikerjakan bersamaan. Pusat Penelitian DPR mengingatkan, penundaan transisi akan semakin memberatkan beban di akhir dekade.

Transisi energi bukan hanya soal angka, tetapi juga berkaitan erat dengan kualitas udara, kesehatan publik, dan daya saing ekonomi. Indonesia, sementara banyak negara bergegas meninggalkan batu bara, justru menunda lompatan besar hingga awal 2030-an. Seorang peneliti CREA menyatakan, “Semakin lama kita menunggu, semakin mahal biaya yang harus dibayar.”

Meskipun PLN menyebut RUPTL ini sebagai yang “paling hijau,” pertanyaan mendasar tetap relevan: akankah janji tersebut benar-benar terwujud tepat waktu, atau hanya akan menjadi angka di atas kertas? Kejelasan dan percepatan implementasi rencana ini sangat krusial untuk masa depan energi Indonesia.

Tinggalkan komentar