Kudus – Perhelatan akbar PON Bela Diri 2025 yang akan segera berlangsung di Kudus, Jawa Tengah, dimeriahkan dengan kehadiran tifo raksasa yang memukau. Tifo ini menjadi simbol semangat dan kreativitas anak muda Kudus dalam menyambut ajang olahraga bergengsi tersebut.
Alun-alun Simpang Tujuh menjadi saksi bisu kemeriahan peluncuran PON Bela Diri 2025 pada Minggu (5/10). Ribuan pasang mata terpana menyaksikan tifo berukuran 50×25 meter yang terbentang luas, sebuah karya seni kolosal yang menghiasi lapangan utama.
Di balik kemegahan tifo ini, tersimpan cerita tentang dedikasi dan kerja keras delapan pemuda kreatif Kudus yang tergabung dalam komunitas Kudus Smart Art. Mereka adalah para seniman di balik layar yang mewujudkan mahakarya ini.
Kisah pembuatan tifo ini bermula ketika panitia PON Bela Diri 2025 mempercayakan ilustrasi kepada Guruh Indra, seorang seniman lokal Kudus yang dikenal dengan nama Mbutz Gambutz. Guruh kemudian menciptakan ilustrasi yang menggambarkan identitas Kudus dan semangat PON Bela Diri, menampilkan Harimau Muria, Menara Kudus, serta figur atlet beladiri dengan slogan resmi “Bela Diri itu Prestasi”.
Setelah ilustrasi disetujui oleh panitia, Kudus Smart Art mengambil alih proses pengerjaan tifo raksasa tersebut.
Delapan Seniman, 10 Hari, Satu Mimpi
Delapan seniman muda Kudus bahu-membahu mewujudkan tifo raksasa ini dalam waktu 10 hari. Mereka adalah Tedi Arianto, Faizar Fachri, M. Andika Susanto, Noor Fais, Aldian Dwi Prasetya, Aditya Alfin Saputra, dan Vicky Febriyanto. Tedi Arianto bertindak sebagai penggerak utama proyek ini, sementara Andika Susanto berperan sebagai pengarah sketsa dan komposisi akhir.
Tedi Arianto mengungkapkan bahwa tifo PON Bela Diri ini sangat berbeda dan menantang, terutama dari segi material yang digunakan.
“Tifo PON Bela Diri ini paling beda dan paling menantang dari segi material,” ujar Tedi.
Mereka menggunakan kain blacu sebagai bahan utama, berbeda dengan tifo pada umumnya yang menggunakan satin atau peles. Ukuran total tifo mencapai 50×25 meter, dengan berat awal sekitar 200 kilogram yang bertambah menjadi 300 kilogram setelah proses pengecatan.
Ukuran kain yang tidak lazim sempat membuat sentra kain di Padurenan, Kudus, menolak pesanan tersebut. Akhirnya, kain dibuat dalam dua bagian masing-masing berukuran 25×25 meter agar dapat diproduksi.
Proyek ini dapat dikatakan sebagai misi yang hampir mustahil. Sebagai perbandingan, pembuatan tifo besar milik suporter timnas sepak bola berukuran 45×30 meter membutuhkan waktu satu bulan dengan melibatkan 30 orang.
Pengerjaan tifo PON Bela Diri Kudus 2025 dilakukan di GOR Bung Karno Kudus, yang luas lapangannya hanya 25×12 meter. Kondisi ini tentu tidak ideal untuk membentangkan kain sebesar itu, namun semangat para seniman muda ini tidak surut.
Tedi mengaku sempat panik di hari pertama pengerjaan. Namun, sebagai putra daerah Kudus, mereka merasa terpanggil untuk menjawab tantangan ini.
“Hari pertama kami sempat panik, tapi sebagai putra lokal Kudus kami harus menjawab tantangan itu,” kata Tedi.
Selama sepuluh hari penuh, tim ini rela tidak pulang ke rumah dan tidur di GOR demi memastikan proses pengeringan cat berjalan lancar. Tantangan terbesar muncul di awal, ketika cat tidak kunjung kering dan waktu semakin menipis.
Tedi mengenang bahwa kepercayaan diri mereka baru muncul di hari ketiga dan keempat. Meski demikian, mereka tetap yakin bahwa proyek ini akan berhasil.
“Kepercayaan diri kami baru muncul di hari ketiga dan keempat. Tapi sejak awal kami tetap percaya ini akan jadi,” kenangnya.
Melukis dengan Tangan
Dua hari pertama dihabiskan untuk mempelajari karakter kain blacu. Setelah melakukan uji coba, mereka menemukan bahwa roller painter tidak dapat menghasilkan warna yang merata. Akhirnya, seluruh proses pengecatan dilakukan secara manual menggunakan kuas dan tangan.
Tedi berpendapat bahwa karya seni yang dikerjakan dengan tangan akan memiliki jiwa yang lebih hidup.
“Karya seni lebih punya nyawa kalau dikerjakan dengan tangan,” kata Tedi.
Untuk menjaga presisi tanpa menggunakan proyektor, mereka membuat grid dari tali rafia dan menggambar berdasarkan perhitungan proporsional. Mereka menyadari bahwa satu kesalahan kecil saja dapat mengubah keseluruhan gambar.
“Kami hanya pakai grid dan feeling. Sekali salah coret, tidak bisa dihapus,” jelasnya.
Mereka menghabiskan total 230 kilogram cat dengan 20 warna berbeda untuk menciptakan gradasi warna dan kedalaman visual. Hasilnya adalah tifo raksasa yang tidak hanya megah, tetapi juga hidup berkat sentuhan tangan-tangan kreatif anak muda Kudus.
Setelah digunakan dalam acara pembukaan PON Bela Diri, kain tifo ini akan diubah menjadi totebag eksklusif sebagai cenderamata bagi para peraih medali. Tedi menjelaskan bahwa tas tersebut akan sangat berharga karena dibuat dengan penuh tantangan oleh anak muda Kudus.
“Tas itu sangat berharga karena dibuat dengan penuh tantangan oleh anak muda Kudus,” ujar Tedi.
Proyek ini merupakan kolaborasi perdana Kudus Smart Art dengan Djarum Foundation sebagai penyelenggara PON Bela Diri Kudus 2025. Ini juga menjadi bukti bahwa kerja tulus dan cinta terhadap kota sendiri dapat menghasilkan karya yang membanggakan.
Tedi menegaskan bahwa mereka tidak pernah mengejar keuntungan dalam berkarya. Tujuan utama mereka adalah menciptakan karya yang dapat membanggakan masyarakat Kudus.
“Kami tidak pernah mengejar untung. Kami hanya ingin berkarya dengan hati. Kalau bisa membuat orang bangga dengan karya anak Kudus, itu sudah cukup,” pungkas Tedi.